Madani-News.com – Namanya Egi Putra S. Saya sekali ke rumahnya. Bertemu kedua orang tuanya dan digorengkan pisang. Egi anak yang baik saat kuliah, dia aktif di HMJ Esy IAIN Metro. Di rumah dia dan anak-anak dikampungnya menghidupkan kesenian hadroh. Sebagai sarjana dia tentu ingin mengaplikasikan keilmuan layaknya seorang sarjana. Umumnya pandangan orang tua, sarjana harus kerja kantoran dan meninggalkan budaya orang tuanya. Orang tuanya selalu merendah bahwa di kampung pekerjaan umumnya kuno dan tak menjamin masa depan.
Saya bangga dengan Egi, dia pulang ke Raman Utara Lampung Timur, dia kembali ke akar kebudayaan orang tuanya dan memberikan sentuhan media atas usaha keluarga tersebut. Ayahnya membuat Odrok atau saya familiarnya ondrong. Alat untuk menyiangi rumput yang tumbuh di sela-sela tanaman padi. Orangtuanya pernah bercerita, bahwa dulu ondrong sangat laku bahkan di kirim ke berbagai tempat. Sekarang orang-orang banyak menggunakan obat pestisida rumput untuk membasmi.
Egi optimis bahwa Odrok tetap laku. Seorang sarjana memang harus optimis menghidupkan hal baru, membangun kreatifitas. Egi bantu bapaknya, dia buat fanpage, logo, mungkin nanti instagram, dan terus pasarkan odrok secara online. Begitulah seharusnya sarjana yang tidak tercerabut dari budaya asalnya. Dengan skill yang dimiliki dan pengalaman leadership di kampus, seorang sarjana tidak boleh diam. Dia bergerak pelan namun pasti.
Pernah di kelas saya tanya aktivitas mahasiswa setelah kuliah. Ada yang menjawab dengan bermacam-macam jawaban. Namun saat ada mahasiswa menjawab pekerjannya “ngarit pak.” Beberapa mahasiswa tertawa. Saya diamkan mereka, dan saya persilahkan semua menyelesaikan jawaban. Kemudian saya tanya mereka,”kenapa ngarit di tertawakan?”
“Ya kok mahasiswa ngarit Pak?”
“Apa yang salah? Rumahmu mana?”
(saya tanya ke salah satu yang menertawakan)
“Rumbia Pak.” (jawaban salah satu mahasiswa)
“Mesuji Pak.” (jawaban yang lainnya)
“la kalian yang tertawa dari kampung juga, kalau dia ngarit dan punya 50 sapi kamu mau gimana? Wanita mana yang nggak mau kalau dia sukses punya peternakan dengan jumlah 50 sapi?” 😊
Semua pada diam dan senyum-senyum.
Sekolah seharusnya mengajarkanmu untuk pulang, mengerti kebudayaan asal dan membangunnya lebih baik dengan keilmuan yang dimiliki. Menjadi sarjana harus kreatif, memiliki skill dan menjelaskan ke semua orang bahwa sarjana berani pulang. Menjadi warga kampung yang terdidik, dan tidak harus menjadi manusia urban. Seorang sarjana yang luwes, pandai bergaul dan memecahkan persoalan disekitarnya, sekuatnya dan semampunya.
Saya juga pernah mendapati mahasiswa selalu mengantuk saat siang hari. Ternyata mahasiswa ini membantu ayahnya membuat nasi goreng di dekat Rumah sakit sampai jam 1 malam. Kepadanya saya berpesan,” tetap jalani dan teruslah kuliah dengan baik. Kuliah tidak harus menjadi pegawai, bangun jejaring, perbanyak kawan, kelak kalau kamu punya 5 outlet nasi Goreng di berbagai tempat itu sudah cukup untuk masa depanmu.”
Salam Payungi ☔☔☔
Penulis : Dharma Setyawan (Penggerak Pasar Yosomulyo Pelangi)