Madani-News.com – Beberapa hari yang lalu grup wasap salah satu komunitas literasi saya diskusi ringan tentang sandwich generation. Istilah keminggris ini konon berasal dari barat sana sebab penamaannya yang menggunakan makanan yang berasal dari barat sana.
Entah betul-betul istilah itu dari barat murni atau hanya sekadar akal-akalan orang indonesia yang menamainya. Tapi yang jelas sandwich generation kerap diartikan sebagai generasi melienial yang harus memikul tanggung jawab ganda. Berupa penghidupan untuk dirinya sendiri dan keluarganya, kemudian disusul dengan tanggungan orang tuanya yang telah lanjut usia.
Artinya seseorang itu berada di tengah-tengah untuk menanggung dua beban. Seperti daging dalam sandwich yang tergencet roti di atas dan di bawahnya terus di tekan-tekan sama yang makan akhirnya daging kecepit. Kira-kira seperti itulah ilustrasi atau asal mula penyebutan sandwich generation. Posisi tergencet ini bisa saja terjadi kepada laki-laki (suami) maupun (istri).
Selanjutnya adalah tentang hubungannya dengan perempuan yang bekerja atau mencari pengasilan sendiri diluar dari pemberian suaminya. Ada beberapa asumsi yang beranggapan bahwa perempuan yang bekerja sebetulnya ingin berbakti kepada orang tua, dengan memberikan tunjangan kepada mereka. Tanpa mengambil penghasilan suami yang diberikan kepadanya. Yakan katanya penghasilan istri itu murni hak milik istri, suami nggak berhak minta, tapi kalau sepakat dipakai untuk kebutuhan bersama ya tidak masalah. (Teori nyomot dari stigma yang berkembang di masyarakat)
Di sisi lain, tanggung jawab atas kehidupan orang tua kemudian tidak melulu ditanggung oleh mereka yang sudah berkeluarga. Artinya kegencetan itu bisa saja dialami jomlo. Misalnya ketika seorang anak pertama yang harus rela menunda pernikahannya demi mempersiapkan masa depan adik-adiknya dan juga dana pensiun atau investasi untuk hidup orang tuanya di usia senja.
Tidak memandang laki-laki atau perempuan, anak pertama yang mbeneh (kenapa saya nyebut mbeneh, ya mungkin karena tidak semua anak pertama akan mengalami seperti ini). Mereka biasanya punya beban moral untuk bertanggung jawab atas adik dan orang tuanya. Karena ia telah dibiayai sekolah terlebih dahulu.
Tapi kemudian radiasi pertanyaan kapan nikah terutama bagi perempuan seringkali menjadi momok yang mengerikan. Saya punya kenalan yang mengalami hal ini sehingga kadang ia malas lama-lama berada di kampung atau di rumah karena pertanyaan tetangga yang dominan menanyakan kapan menikah.
“Kadang aku mikir, kenapa sih perempuan itu dianggap was-was kalau usia 25 belum menikah, kenapa juga aku nggak jadi laki-laki sekalian,” Katanya sewaktu kami nongkrong di kedai kopi.
Perempuan memang lebih sering ditanya kapan menikah, bahkan seperti diberi peringatan bahwa pada usia tertentu sudah was-was dan harus segera menikah. Berbeda dengan laki-laki yang lebih santai karena dianggap tidak masalah kalau menikah saat usianya menginjak kepala tiga. Sebenarnya tidak salah juga dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Bahkan itu semua merupakan bentuk kepedulian orang-orang sekitar.
Tapi yang harus dipahami adalah seseorang yang menunda menikah itu bisa saja sedang menyelesaikan target tertentu atau sedang menjadi sandwich generation. Yang tak banyak kita tahu, terus-menerus bertanya kapan menikah justru berubah menjadi pertanyaan mengerikan bukan bentuk kepedulian.
Penulis : Ririn Erviana (Metro, 18 Juni 2019)