Penulis : Dharma Setyawan (Penggerak Pasar Yosomulyo Pelangi)
Berita Kompas Rabu (11/12/2019) menyebutkan Presiden Jokowi mendapat laporan di Istana Kepresidenan Jakarta bahwa 2.188 Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) tidak beroperasi dan 1.670 BUMDes yang beroperasi tapi belum memberikan kontribusi pada pendapatan desa. Jokowi meminta BUMDes yang didanai dengan dana desa bisa mulai melakukan kemitraan dengan sektor-sektor swasta besar. BUMDes juga harus bisa membuka chanel distribusi sehingga produk unggulan di desa bisa masuk ke pasar nasional maupun global.
Apa yang salah dengan para penggerak BUMDes? Bagaimana pola pendampingan di lapangan? Bagaimana dana Desa menopang keberlangsungan BUMDes? Pertanyaan-pertanyaan di atas penting untuk mengoreksi sejauh mana pemberdayaan di lapangan dilakukan. Total dana desa yang dialokasikan dalam APBN selama kurang lebih 5 tahun terakhir sebesar Rp 329,8 Triliun. Pada APBN 2020, anggaran dana desa akan meningkat menjadi Rp 72 Triliun.
Ribuan BUMDes ini bukan hanya butuh pendampingan, tapi juga kolaborasi dengan berbagai stakeholder. Presiden Jokowi harus menganggap ini sebagai darurat penggunaan Dana Desa. Mempercayakan pada pengelola di Desa dan pendamping Desa saja tidak cukup. Presiden harus menempuh banyak langkah agar uang raturan triliun di periode ke 2 ini tidak terulang hanya jadi Bancakan para pengurus desa.
Perguruan Tinggi (PT) harus ikut turun tangan dalam mencari solusi mandeknya ribuan BUMDes ini. Desa harus melakukan kolaborasi gerakan dengan perguruan tinggi. Mahasiswa-mahasiswa juga harus belajar memahami bagaimana desa kepayahan dalam membangkitkan ekonomi desa. Dengan mereka terjun ke desa, tinggal di rumah-rumah warga, mereka diajak ke lapangan melihat pertanian, peternakan, perikanan dan sulitnya menjual hasil desa ke para konsumen tetap (menciptakan pasar).
Saya pribadi terinspirasi Camp Audio Visual Watchdoc, dimana mahasiswa belajar membuat film di Jogja dan tinggal di rumah warga. Pada sesi akhir kegiatan, film-film potensi desa itu di putar bersama warga. Jika ini dilakukan oleh mahasiswa di desa-desa tentu ruang kuliah tak ada pembelajaran yang dikritik menteri Nadiem menemukan elan vitalnya di ruang sosial desa. 40 hari memang tidak cukup untuk membuat perubahan berbasis Film, Desain Grafis dan Media Sosial. Namun mahasiswa bersama warga penting melakukan learning by doing dan mereka akan tumbuh koneksi batin. Masalah desa di masa depan adalah sebagian masalah keberlangsungan hidup mahasiswa di masa yang akan datang.
Jokowi juga telah menekankan bahwa dana desa digunakan untuk pengolahan pascapanen, industri-industri kecil dan mikro, budidaya perikanan, desa wisata, dan industrialisasi pedesaan. Namun dalam praktik di lapangan memang tidak semudah itu. Para penggerak harus datang lebih lama, pola Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebaiknya tersambung tidak terputus dan penting saling mengevaluasi. Angkatan pertama bercerita ke angkatan selanjutnya apa yang sudah dilakukan, dan kajian roadmap pemberdayaan desa harus dirumuskan serius oleh Lembaga Pengabdian Masyarakat di Perguruan Tinggi.
Sumber Daya Manusia (SDM) berbagai prodi di PT harus menguji keilmuannya agar bisa bermanfaat di masyarakat. Di sini akan membuktikan antar prodi akan kolaborasi, saling menyapa dan memberi ide terbaik dari persoalan yang dihadapi. Intelektual pada dasarnya tidak bebas nilai, kaum terdidik harus memihak dan membela mereka yang terpinggirkan, kekurangan akses pengetahuan, dan terus memberdayakan mereka agar menjadi entitas yang mandiri. Mahasiswa-mahasiswa yang notabene berasal dari desa diajak untuk bertungkus lumus ikut andil menuntaskan masalah desa.
Hal yang penting lagi, Perguruan Tinggi memiliki anggaran pengabdian masyarakat. Ini menjadi stimulan agar diproyeksikan secara benar. Bukan karena based on project semata, tapi wujud kolaborasi PT dan Desa dalam membangun sinergitas pemberdayaan ekonomi desa. Ribuan BUMDes yang selama ini mati suri, organisasi papan nama, terjadi karena kurang cukupnya pengetahuan para pengurus. Sekolah desa, workshop, pelatihan media, harus dilakukan oleh para dosen dan mahasiswa terlebih dahulu. Itu pun tidak cukup, pemberdayaan ini adalah jalan panjang tidak ada yang instan hanya turun melaksanakan ritual anggaran. Para penggerak konsisten bergerak sampai mengenal setiap warga yang mereka dampingi.