Madani-News.com – Merujuk dari Ayat I dan II Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 yang membahas persoalan ekonomi, cukup menjadi indikator bahwa perekonomian bangsa Indonesia dibangun dari paham-paham kiri. Paham ideologi kiri dalam konteks ekonomi adalah, suatu paham yang menginginkan suatu perekonomian yang demokratis (pembangunan perekonomian yang mengutamakan kepentingan masyarakat dibandingkan kepentingan orang-perorang), dan tidak menghendaki sistem perekonomian yang bersifat subordinasi.
Undang-Undang tentang perekonomian, pasal 33 UUD 1945 tersebut juga mengandung cita-cita bahwa sistem perekonomian Indonesia harus dikelola secara mutualism dan Brotherhood. Undang-undang tersebut mengedepankan kesejahteraan sosial, yang dijalankan dengan tumpuan kolektivisme, sehingga menjadikan kepentingan sosial/masyarakat sebagai kepentingan yang utama.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 1 menegaskan “ …perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan…” untuk menjamin bahwa kepentingan masyarakat harus tetap menjadi sentral-substansial, maka Kemudian dijamin dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat 2, yang menegaskan “…Cabang produksi yang penting bagi negara, dan mnguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara…” sebetulnya, ayat 2 ini mencegah agar setiap cabang produksi (pabrik, perusahaan) tidak dikuasai oleh swasta/orang-orang berkuasa, yang ditakutkan akan melakukan kesewenang-wenangan demi keuntungan pribadi dan kelompok tertentu.
Perundang-undangan yang telah disusun secara hati-hati oleh pemimpin bangsa pada waktu itu, ternyata tidak sejalan dengan semangat pergerakan pemerintahan selanjutnya. Terutama saat masa orde baru, kehati-hatian dalam menjaga terjaminnya kepentingan masyarakat, keadilan sosial dan pembangunan perekonomian yang berdasarkan mutualism dan Brotherhood yang pada dasarnya mengandung pemikiran yang kiri, dirubah total oleh rezim orde baru dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing.
Pembentukan undang-undang tersebut seharusnya dilakukan dengan memperhatikan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai acuan pelaksanaan demokrasi ekonomi, dari mulai pendirian, pennyertaan modal hingga pengalihan bentuk perusahaan. Pembentukan undang-undang nomor 1 tahun 1967 tidak tentang penanaman modal asing ternyata tidak untuk meningkatkan kedaulatan rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi, tetapi untuk melancarkan kepentingan-kepentingan individual para kapitalis.
Sejak saat itulah, dasar pembangunan perekonomian Indonesia yang muncul dari paham kiri yang sosialis, berbalik arah menjadi praktik pembangunan perekonomian berpaham kanan yang cenderung kapitalistik, individualistik, mereduksi sikap kritis masyarakat, dan menjadikan masyarakat terjebak dalam kondisi subordinasi.
Gagasan kiri sebenarnya sempat masuk kembali dengan adanya ide pendistribusian dana desa. sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014, yang tertera dalam pasal 19 di tegaskan bahwa, Pertama Dana Desa dipergunakan untuk membiayaai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasarakatan. Kedua Dana Desa sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Penekanan terhadap pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk mengurangi kesenjangan antar sesame warga Indonesia. Dengan adanya pengelolaan dana desa yang pengalokasiannya sesuai dengan petunjuk peraturan pemerintah tersebur, maka mengandung sebuah makna bahwa dana desa adalah untuk kesejahteraan bersama, pembangunan bersama sehingga terjadi pemerataan dan keadilan. Yang itu semua menggambarkan suatu paham kekirian.
Paham kekirian juga terlihat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa, yang terdapat di pasal 3 tentang asas pengaturan desa. dalam pasal tersebut, terdapat beberapa hal yang merupakan asas dalam pengaturan desa, diantaranya adalah kesetaraan dan pemberdayaan. Kesetaraan dan pemberdayaan adalah sifat yang jauh dari individualistik, kepentingan individu apalagi subordinasi.
Dari gagasan pendistribusian dana desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari APBN dan lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa, dapat penulis simpulkan bahwa tahun 2014 gagasan kiri yang sosialis sebenarnya telah dimunculkan, melalui Dana Desa.
Paham yang terkandung dalam aturan Dana Desa, ternyata selama ini tidak ditangkap dengan baik oleh banyak Desa di Indonesia. Sebagian memang berhasil memberdayakan warga, berhasil memunculkan kesetaraan dan taraf perekonomian masyarakat desa yang meningkat. Namun, masih banyak desa yang belum paham tentang tujuan Dana Desa.
Kreativitas dan inovasi tentu menjadi penghambat mengapa desa tidak memanfaatkan Dana Desa untuk pemberdayaan masyarakat. Yang pada akhirnya, Dana Desa yang berangkat dari paham kiri, ditangkap dengan cara kanan, yang pada akhirnya adalah menguntungkan individu, bukan masyarakat desa.
Pemberdayaan masyarakat yang merupakan tujuan utama dari adanya Dana Desa masih banyak tidak dilaksanakan oleh sebagian desa-desa Indonesia. Dana Desahanya mentok pada realisasi pembangunan fisik, yang sama sekali tidak berdampak terhadap penambahan keberdayaan masyarakat.
Sikap kritis masyarakat desa tentang pengalokasian Dana Desa juga sering tidak Nampak. Hal-hal yang perlu dipertanyakan soal bagaimana bentuk pemberdayaan masyarakat yang akan dilakukan melalui Dana Desa juga sering tidak terpikirkan oleh masyarakat desa.
Penulis: WEPO