Lebaran

Madani-News.com – “Bersedekah saat kondisi pas-pasan maupun kondisi berlebih, menundukkan amarah, memaafkan manusia, apabila berbuat salah dan khilaf bersegera untuk memohon maaf kepada sesama dan memohon ampunan Allah. Akan menjadikan kita menjadi muhsin, dan mendapatkan kelapangan.” Salah satu isi ceramah yang lekat dalam ingatan saya. Meski telah berlalu lebih dari 25 tahun.


Dulu, sekitar tahun 1985-1990-an. Saat masih menjadi murid sekolah dasar, Aku memang selalu merasa senang, ketika rombongan Safari Ramadan Pondok Pesantren Abu Hurairah hadir di pulauku, Saur. Bagiku, mereka adalah orang-orang yang luar biasa, menempuh perjalanan laut, dengan perahu layar, butuh waktu setengah hari bahkan kadang sampai sehari penuh untuk tiba di pulau saya, menginap semalam kemudian esoknya melanjutkan perjalanan ke pulau-pulau lain. Kegiatan safar yang belakangan aku ketahui sebagai dakwah.

Kekagumanku terhadap rombongan Safari Ramadan itulah, yang mengubah kebiasaan bermain, berkejaran dan berteriak-teriak di halaman langgar, ketika jeda antara salat Tarawih dan Witir yang biasanya diisi dengan ceramah, menjadi kekhidmatan mendengar ceramah.

Aku serius menyimak salah seorang dari mereka menyampaikan ceramah tentang pentingnya untuk membersihkan hati dari kotoran dengki, dendam dan kikir. Hatiku yang dipenuhi dendam dan dengki, akan selalu sesak dan sakit, begitupula hati yang kikir akan selalu merasa kekurangan. Penyakit-penyakit hati tersebut menjadikan kehidupan yang semestinya lapang menjadi terasa sempit.

Suara jelas, intonasi tegas. Menjadikan ceramahnya enak didengar. Seingatku, ceramah itulah yang pertama kali memotivasiku untuk juga bisa ceramah, berdiri di atas mimbar. Istilah kerennya, menjadi da’i.

Menurutku, menjadi da’i itu adalah profesi mulia. Mengajak dan menyeru orang untuk berbuat kebajikan. Walaupun aku harus memverifikasi, memastikan tak melulu orang yang berdiri di atas mimbar bisa dikategorikan da’i, karena banyak pula yang mengejek, menyaru sebagai da’i padahal sebenarnya tukang loak, memungut teks-teks suci dengan modal cocokologi, tak jarang yang memanipulasi ayat dengan interpretasi pribadi tanpa referensi, prinsipnya layak jual dan seirama dengan kepentingannya.Alih-alih mengajurkan kebajikan, malah menebar kebencian.

“Tak jarang orang berada di tempat lapang, tetapi ia merasa sumpek. Sebab, merasakan lapang itu bukan soal tempat tempat yang lebar dan luas, melainkan soal hati.” Begitu aku mengingat-ingat salah satu pesannya, kala itu beliau mengutip Qs. Ali Imran ayat 133 hingga 136.

Berbekas. Saat itu, aku mencari ayat-ayat yang dikutipnya di dalam Alquran, menghafalnya dan membaca tafsirnya hingga kini. Seingatku dulu di rumah hanya ada Al Azhar, itu pun tak lengkap, serta Alqur’an terjamahan versi penguasa, Departemen Agama.

Dalam Qs Ali Imran, Allah berfirman, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.”(Qs Ali Imran: 133-136).

Setidaknya, ada lima amaliyah yang harus disegerakan dalam ayat-ayat tersebut, pertama, menafkahkan harta. Kedua, menahan amarah. Ketiga, memaafkan kesalahan orang lain. Keempat, bertobat saat melakukan perbuatan keji. Kelima, bertobat saat menganiaya diri sendiri.

Aku terus berusaha menyelami setiap makna lapang, terkhusus makna ‘surga seluas langit dan bumi’. Para ahli tafsir seperti Ibnu Abbas, Al Qurtubhi, Ibnu ‘Asyur dan Asysyaukani bersepakat menafsirkannya,  bahwa makna luas dalam ayat di atas sesuai dengan kebiasaan orang Arab dalam menggunakan isti’arah, jadi bukan berarti makna yang sebenarnya; yaitu karena surga itu sangat luas sekali, maka dari sisi mubalaghah diungkapkan dengan luasnya langit dan bumi; karena keduanya adalah makhluk Allah yang paling luas, maha suci Allah dari ilmu yang diketahui oleh hamba-hamba-Nya, bukanlah menunjukkan batas teritori surga. (Baca dan bandingkan Tafsir al Qurtubi: 4/204-205, Fathul Qadiir: 1/437, At Tahrir wat Tanwir: 4/89).

Lebaran; Menghadirkan Surga di Bumi

Tentu mustahil, jika dalam pengertian sebenarnya menghadirkan surga yang seluas langit dan bumi itu hadir di bumi. Namun, tentu tak juga salah ketika dalam suasana lebaran, setelah melewati Ramadan, berusaha tazkiyatun nafs dengan rentetan amaliyah yang mulia, kita semestinya berhasil memiliki hati yang lapang. Sebagai ‘sesuatu’ yang immaterial, hati tentulah bisa melampui segala yang materi.

Memiliki hati yang luas, seluas langit dan bumi itulah yang Aku maksudkan menghadirkan surga di bumi. Tentu dengan tetap merujuk pada ayat di atas, pertama, melepaskan diri dari ikatan materi (harta), sehingga tidak pelit dan kikir (suka bersedakah). Kedua, memiliki sikap welas asih, sehingga tak gampang marah. Ketiga, tak merawat dendam dan kebencian, sehingga mampu memaafkan orang lain. Keempat, cepat sadar ketika melakukan kesalahan, sehingga tak sungkan meminta maaf. Kelima, mengenali diri sendiri dengan baik, sehingga tak selalu merasa jumawa dan angkuh yang bisa melahirkan sikap menganiaya diri sendiri.

Membayangkan manusia yang tak memiliki keterikatan terhadap materi yang menyandera kemanusiaannya, tak memiliki kebencian dan selalu merasa sadar diri, tentulah bisa membayangkan kehidupan seseorang yang selalu merasakan kelapangan. Hidupnya tidak akan pernah merasa sempit.

Ramadan yang mengajarkan soal tenggang rasa (simpati dan empati), solidaritas sosial, ukhuwah islamiyah, disiplin dan istiqamah dalam kebajikan, akan tergambar hasilnya dalam pribadi-pribadi yang dermawan, gemar menolong, menebarkan kasih sayang pascaramadan. Barangkali itulah yang menjadi alasan orang menghubungkan lebaran dengan kata ‘lebar’ dengan tambahan akhiran ‘an’. Manusia yang lebaran adalah manusia yang memiliki hati yang lapang, hatinya tak terikat materi, dan ternoda dendam dan kebencian, dan tahu diri (ma’rifat an nafs).

Dalam bahasa leluhurku, bahasa Same, lebaran disebut sebagai lappas. Lappas diyakini secara harfiah sepadan maknanya dengan lepas. Lepas dari segala ikatan-ikatan yang bisa mengotori kesucian perjuangan mengendalikan syahwat selama Ramadan, termasuk melepaskan rasa benci, dendam, dengki dan sikap pelit yang diwujudkan dalam bentuk saling bermaaf-maafan, saling menjamu dan bersedekah di hari lebaran/lappas.

Sungguh hati yang masih memiliki ikatan atau tergantungan terhadap materi duniawi, tak akan pernah bisa lebih lapang dari materi tersebut. Maka, marilah mencoba lappas dari ikatan-ikatan tersebut, merasakan dan berusaha menghadirkan surga seluas langit dan bumi dalam kehidupan, dengan memiliki hati yang lapang.

Mari berlebaran.

Penulis : Rahmatul Ummah, Warga Yosomulyo