Madani-News.com – Namaku Nella, aku lahir di sebuah daerah di Provinsi Lampung. Daerah tempatku tinggal adalah di sebuah desa yang terletak di kaki Gunung Tanggamus. Aku bersekolah di sebuah Sekolah Dasar yang jaraknya hanya beberapa langkah saja dari rumah kemudian tinggal menyeberang jalan lalu sampai. Seperti halnya anak-anak pada umumnya, semasa kecil hidupku juga dipenuhi oleh banyak impian, keinginan serta cita-cita.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar aku melanjutkan studiku di sebuah SMP Negeri yang jaraknya kurang lebih sekitar lima kilometer dari rumahku. Setiap hari aku berangkat ke sekolah dengan menaiki kendaraan umum bersama dengan teman-temanku. Kendaraan umum tersebut bukanlah sebuah angkot ataupun minibus dan sebagainya yang biasa beroperasi di jalanan perkotaan, Pada saat itu desa kami belum mengenal adanya kendaraan semacam itu. Kendaraan umum yang melewati desa kami adalah sebuah kendaraan khas pedesaan. Kendaraan yang sebenarnya adalah sebuah mobil pick up yang diberi penutup sebagai atap dan dinding agar kami aman di dalamnya. Mobil ini mampu mengangkut banyak orang dan ketika jumlah penumpang membludak maka tak heran jika di dalamnya kami suka berpangku satu sama lain berbagi tempat duduk bahkan sampai ada yang bergelayut di bagian belakang mobil hingga berhimpit-himpitan serta banyak pula yang duduk di bagian atap mobil. Bagiku cerita ini adalah sebuah pengalaman unik yang tidak semua orang memiliki pengalaman semacam ini.
Ya, aku adalah seorang bocah desa dengan segala kepolosan dan keluguannya. Sebagai seorang yang hidup di pedesaan, pada saat itu aku tak cukup banyak mengenal tentang teknologi terbaru yang berkembang seperti misalnya internet. Aku mengenal internet ketika dalam pelajaran komputer di sekolah yang hanya diberikan selama 2 jam dalam seminggu itupun hanya dalam materi. Kami tidak diperkenalkan secara nyata tentang internet karena di daerah kami pada saat itu belum memiliki akses teknologi informasi yang memadai. Namun, pada tahun 2009 saat itu aku telah duduk di bangku kelas 3 SMP aku menjumpai sebuah Warnet dan disitulah akhirnya aku mulai mengenal tentang dunia internet secara nyata dan mampu memandang dunia secara lebih terbuka.
Masih di tahun 2009, tepatnya di bulan Juni akhirnya aku berhasil mentamatkan pendidikanku di jenjang SMP. Banyak pilihan SMA yang bisa aku masuki di daerahku baik SMA Negeri maupun SMA Swasta. Namun, pada akhirnya aku memilih untuk pergi melanjutkan pendidikanku di luar daerah dan berpisah dari keluargaku di rumah. Bagiku masa-masa itu adalah masa paling berat yang pernah aku alami. Masa penuh kebimbangan yang mungkin juga dialami oleh orang-orang yang pertama kali memutuskan untuk berpisah jauh dari keluarga. Saat itu usiaku adalah 14 tahun, masih cukup belia untuk jauh dari kehangatan orang tua dan keluarga. Ya, aku melanjutkan pendidikanku di sebuah Madrasah Aliyah Negeri di Kota Bandar Lampung. Madrasah ini cukup terkenal di Provinsi Lampung karena mayoritas siswa-siswinya merupakan anak-anak yang berasal dari berbagai pelosok daerah di Provinsi Lampung sama seperti diriku. Di madrasah inilah kemudian aku mulai merangkai semua mimpi-mimpiku dan mulai merancang masa depanku.
Hidup di kota dan jauh dari keluarga menjadikanku seorang anak yang mau tidak mau harus belajar mandiri. Menyelesaikan semuanya sendiri dan menjalani aktivitas harianku secara mandiri tanpa bantuan orang tua atau keluarga. Aku bukan lagi seorang bocah desa yang polos nan lugu. Kini aku telah menjelma menjadi seorang perantau yang berjuang untuk mengejar pendidikan yang lebih baik. Bersama teman-temanku di madrasah aku belajar banyak hal. Satu persatu aku tuliskan semua mimpi-mimpi dan cita-citaku. Aku tuliskan dalam satu buku yang aku beri nama buku impian dan aku tuliskan pula di lembaran-lembaran kertas kemudian aku tempelkan mimpi-mimpi itu di dinding kamar kosku. Mengapa demikian? Karna orang bilang “Kalau kita punya impian, keinginan, atau cita-cita maka tuliskanlah kemudian tempelkan tulisan itu maka satu persatu apa yang kita tuliskan akan jadi kenyataan”. Percaya tidak percaya, aku hanya ingin membuktikan kebenaran kata-kata itu namun tidak lupa harus disertai dengan do’a dan usaha.
Banyak hal yang aku tuliskan dan aku tempelkan di dinding kamarku diantaranya yaitu tentang target prestasi yang ingin aku capai, perguruan tinggi yang ingin aku masuki, kuliah dengan beasiswa, dunia kerja yang ingin aku geluti, tempat-tempat yang ingin aku kunjungi, dan banyak lagi lainnya termasuk berkunjung ke kota impian. Aku memiliki beberapa kota impian dan Kampung Inggris adalah salah satu kota impianku. Ntahlah mengapa aku menamainya sebagai kota impian, padahal jelas-jelas itu kampung bukan kota.
***
Hari itu ketika berada di sekolah, aku benar-benar merasa bodoh dengan pelajaran bahasa inggris. Aku tak banyak tahu tentang bahasa inggris. Jangankan untuk tahu, melihat jadwal pelajaran bahasa inggris saja aku sudah malas, muak, dan rasanya ingin membolos dari kelas dan kabur ntah kemana. Tapi itu tidak mungkin aku lakukan. Aku terlalu takut untuk meninggalkan kelas. Aku terlalu sayang meninggalkan setiap mata pelajaran sekalipun mata pelajaran yang paling tidak aku senangi. Orang bilang untuk bisa bahasa inggris, maka kita harus cinta dulu dengan gurunya. Nah inilah yang menjadi permasalahanku. Aku tidak bisa cinta dengan pelajaran itu karena sejak awal aku sudah takut dengan gurunya. Bagiku pelajaran bahasa inggris adalah pelajaran paling menegangkan selama di sekolah. Hingga suatu hari saat aku telah duduk di kelas 2 SMA, aku mendapat informasi dari seorang temanku tentang Kampung Inggris. Sebuah kampung yang katanya memiliki sistem pembelajaran yang berbeda dari yang lain. Sebuah kampung yang menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa berkomunikasi sehari-hari. Di kampung itu katanya disediakan asrama dan tempat belajar bahasa inggris serta memiliki aturan wajib menggunakan bahasa inggris. Selain itu juga disediakan punishment bagi mereka yang melanggar aturan. Masih katanya lagi di kampung itu banyak orang yang berhasil menguasai bahasa inggris dari yang tadinya tidak bisa sama sekali.
Mendengar itu semua aku merasa memiliki sebuah harapan baru, Semua kekhawatiranku tentang bahasa inggris yang seolah tidak mungkin untuk aku kuasai, sekarang menjadi sebuah harapan bahwa aku bisa untuk menguasai bahasa itu. Bersama temanku yang bernama Nanda dan May, kami mulai berangan-angan untuk pergi kesana. Kami membuat rencana-rencana agar kami bisa bersama-sama belajar di kampung itu. Mulai dari rencana menabung untuk biaya kesana, dan rencana tentang kapan dan bagaimana kami akan kesana. Sejak saat itulah, aku menuliskan Kampung Inggris sebagai salah satu kota impianku. Aku menempelkan impianku itu di dinding kamar kosku dengan harapan semoga seuatu hari nanti aku bisa pergi belajar Bahasa Inggris di sana, di Kota Impian.
***
Hari demi hari berlalu, dan tak terasa masa SMAku telah habis. Aku harus berjuang untuk melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi. Perjuangan yang mungkin bagi sebagian orang adalah hal yang mudah, tapi bagiku itu tidak semudah yang dibayangkan. Tentang rencanaku untuk pergi ke Kampung Inggris bersama temanku, sebenarnya adalah setelah kami menyelesaikan pendidikan di SMA. Kami berencana kesana bersama selama beberapa bulan sambil menunggu hasil pengumuman ujian dan juga tes masuk PTN. Namun, ternyata kenyataan tidak selalu dapat berjalan sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Setelah lulus kami sibuk dengan urusan kami masing-masing yaitu berjuang untuk dapat masuk di Perguruan Tinggi yang kami inginkan. Aku mengejar sebuah Perguruan Tinggi Negeri yang cukup terkenal di Yogyakarta. Perguruan Tinggi yang menjadi salah satu target utamaku meskipun pada akhirnya aku tidak berhasil menggapainya. Sedih sih… tapi aku masih punya harapan lain karna aku juga sempat mendaftar di salah satu perguruan tinggi lainnya yang juga menjadi target utamaku. Ternyata benar rencana Tuhan memang lebih indah. Pada akhirnya aku diterima disalah satu Perguruan Tinggi Kedinasan yaitu di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung. Aku buka kembali buku impianku ternyata STKS adalah perguruan tinggi prioritas utamaku di buku mimpi. Dan disinilah untuk pertama kalinya aku membuktikan bahwa apa yang aku tuliskan telah menjadi kenyataan.
Aku semakin yakin bahwa suatu hari nanti aku bisa mewujudkan mimpiku untuk belajar di Kampung Inggris dan impian-impian lainnya. Tahun pertama kuliah di STKS aku mulai merancang kembali rencana untuk kesana. Kebetulan beberapa temanku akan pergi kesana pada liburan semester 2. Rasanya ingin sekali aku ikut kesana, namun aku belum punya cukup tabungan untuk bisa pergi kesana. Aku masih harus bersabar menunggu kesempatan yang datang padaku. Pada tahun kedua Alhamdulillah aku mendapatkan beasiswa dari STKS, dan dari situlah aku mulai menabung sedikit demi sedikit uang beasiswa yang aku peroleh agar aku bisa belajar di Kampung Inggris.
***
Sore itu, gemuruh suara kereta terdengar begitu nyaring. Lalu lalang orang-orang yang akan bepergian begitu ramai. Antrean pintu masuk menuju rel kereta begitu ramai dan panjang. Saat kereta tiba, berduyun-duyun para calon penumpang bergegas masuk dan mencari bangku yang sesuai dengan yang tertera di tiket masing-masing. Selang beberapa waktu kemudian, kereta melaju dengan kecepatan yang cukup stabil. Kereta selalu berhenti di setiap stasiun yang dilalui, mengangkut para calon penumpang yang akan menaiki kereta tersebut.
Perjalanan yang cukup panjang yang harus dilalui. Aku bersama seorang temanku duduk berhadapan di bangku kereta yang muat untuk enam orang. Cukup sempit untuk hanya sekedar menggerakkan kaki. Di dalam kereta terasa cukup panas karena kereta yang kami naiki adalah kereta dengan kelas ekonomi. Namun, kami sangat menikmati perjalanan ini. Sepanjang perjalanan kami menghabiskan waktu dengan terus bercerita banyak hal. Mulai tentang cerita seputar kampus, teman-teman, kisah masa lalu, keluarga, cerita cinta, impian, politik dan sebagainya.
Kereta terus melaju, membawa kami semakin jauh dari Bandung menuju tempat yang belum pernah sama sekali kami singgahi. Tepat pada pukul 9 pagi kereta berhenti di pemberhentian terakhir. Kamipun segera turun membawa tas kami masing-masing sambil melangkah menuju pintu keluar stasiun.
“Bismillah ya zah” bisikku pada azizah temanku.
“Iya nel, Bismillah ya. Yuk, kemana kita akan melangkah selanjutnya?” tanya azizah.
“Hmb.. bentar coba kita tunggu dulu sebentar jangan terburu-buru menentukan keputusan” jawabku sembari menunggu pesan dari temanku yang lain.
Kami tepat berdiri di depan pintu keluar stasiun kereta, banyak para pengemudi becak mengerumuni kami dan menawarkan jasa untuk mengantarkan kami menuju angkutan umum ke tempat yang akan kami tuju. Akhirnya selang beberapa lama kami memutuskan untuk menaiki becak menuju angkutan umum yang akan mengantarkan kami sampai di tempat tujuan.
Suasana kota cukup panas namun membahagiakan dan kami sangat menikmatinya. Aku masih terpana dan berulang-ulang kali mengucap syukur, tidak menyangka bahwa aku bisa sampai disini, di “Kota Impian”. Ya, akhirnya aku mampu mewujudkan mimpiku untuk belajar di kota impian ini di Kampung Inggris.
Setelah dari becak, kemudian sampailah kami di angkutan kota (angkot) yang akan membawa kami menuju Kampung pare atau Kampung Inggris. Biaya angkot dari kota Kediri sampai Kampung Pare pada saat itu adalah 17 ribu untuk masing-masing orang. Angkot di kota ini berbeda dengan angkot pada umumnya. Angkot disini adalah angkot yang sebenarnya merupakan mobil Carry dengan tempat duduk menghadap kedepan selayaknya mobil pribadi.
Ya, aku mewujudkan impianku bersama temanku yang bernama azizah. Azizah adalah salah seorang sahabat baikku di STKS. Ia berasal dari Banjar Negara, Jawa Tengah. Sama seperti diriku, dia juga mengalami kesulitan dalam Bahasa Inggris. Saat ia tahu bahwa aku berencana untuk belajar di Kampung Inggris, ia sangat antusias untuk ikut bersamaku belajar bahasa inggris bersama.
Angkot yang kami naiki masih menunggu beberapa waktu agar mobil penuh dengan penumpang. Namun kurang lebih sudah satu jam kemudian akhirnya angkotpun melaju dengan penumpang yang hanya berjumlah 4 orang. Kami sebagai penumpang tentunya merasa sangat longgar sehingga badan kami leluasa untuk bergerak. Angkot kami melaju cukup kencang. Beberapa kilometer kemudian angkot kami melewati sebuah tempat yang bernama SLG atau Simpang Lima Gumul. Aku terpana melihat bangunan yang menjadi titik tengah simpang lima tersebut. Bangunan yang sangat indah mirip ornament prancis yaitu “Arc de Triomphe” yang mana bangunan ini menjadi salah satu icon Kota Kediri, dan banyak orang yang menyebut tempat ini sebagai Paris of Pare atau parisnya pare. Subhanallah.
Angkot yang kami naiki terus melaju dengan kecepatan normal. Kamipun diantarkan sampai ke sebuah lembaga kursus yang menjadi tempat tujuan utama kami. Sebuah lembaga kursus yang sebelumnya telah kami daftari dengan cara online. Lembaga ini merupakan lembaga yang cukup terkenal di Kampung Inggris dan nama lembaga tersebut adalah Mr. Bob.
Mr. Bob adalah sebuah lembaga kursus yang ada di kampung inggris dengan spesialisasi terapi ngomong inggris. Aku sangat tertarik dengan karakteristik program di Mr. Bob yang intinya mah aku banget. Program di Mr. Bob adalah program-program yang tujuannya untuk meningkatkan rasa PD dalam ngomong inggris dan itu yang sangat aku butuhkan. Membuat kita berani ngomong meskipun salah-salah karna disana kita diajarkan untuk berani salah daripada takut salah yang pada akhirnya akan membuat kita takut ngomong inggris dan gak pernah berani mencoba yang membuat kita gak akan bisa ngomong inggris. Sistem pembelajaran yang anti stress dan akan membuat kita happy.
Sampai di Mr. Bob kami melakukan registrasi ulang dengan memilih program kelas yang kami minati. Berhubung kami datang terlambat yaitu di H+3 pembelajaran di periode 10 Juni 2013 maka kami tidak memiliki kesempatan untuk memilih jam belajar yang sesuai karena sudah banyak kelas yang penuh. Untuk itu aku dan Azizah temanku harus berada di kelas yang berbeda. Kemudian kami diantarkan menuju Camp yang akan menjadi tempat tinggal kami selama satu bulan kedepan. Nama Camp kami adalah Camp 9 Mr. Bob yang lokasinya berada di Jalan Anyelir. Cukup jauh jaraknya dari tempat kursus Mr. Bob. Maka dari itu kami sangat disarankan untuk menyewa sepeda.
Sampai di tempat Camp, kami disambut oleh teman-teman Camp yang sudah lebih dulu datang 3 hari sebelumnya. Mereka semua menyambut kami dengan hangat dan menanyakan nama, asal, dan sebagainya dengan menggunakan bahasa Inggris. Kami bengong dan bingung pada saat itu. Kami bingung bagaimana menjawabnya karena lidah kami masih kaku dan belum terbiasa berbicara dengan Bahasa Inggris. Maka sepontan saja kami menjawab semua pertanyaan tersebut dengan Bahasa Indonesia namun mereka tetap bertanya dan berbicara dengan Bahasa Inggris. Kemudian kami diberi tahu oleh tutor camp tentang aturan-aturan yang harus kami patuhi yaitu bahwa setiap penghuni camp wajib menggunakan bahasa Inggris dan apabila melanggar maka kami akan mendapatkan point. Apabila point tersebut mencapai 3 point maka pelaku pelanggaran tersebut akan mendapatkan hukuman berupa berbicara di depan keramaian dengan menggunakan bahasa Inggris. Untung saja, di hari pertama ini kami masih diberi keringanan yaitu boleh untuk tidak berbicara Bahasa Inggris karena kami masih dalam tahap penyesuaian. Akan tetapi setelah hari pertama tersebut dan seterusnya kami sudah wajib menggunakan Bahasa Inggris dan semua aturan yang ada sudah berlaku. Maka pilihannya adalah “Berbicara dengan bahasa inggris atau Diam”. Jujur saja aku merasa shock dengan aturan tersebut karena mana mungkin aku bisa melakukannya. Temanku Azizah ternyata juga merasa demikian. Kami memang sama-sama masih sangat awam dengan Bahasa Inggris. Tapi kemudian aku menenangkan diriku, dan menanamkan kalimat hiburan yaitu “Nothing is impossible”gak ada yang gak mungkin, semuanya bisa jadi mungkin saat kita mau mencoba so “ We must try, again and again and again” Intinya mah jangan takut mencoba lagi dan lagi dan jangan pernah takut untuk salah.
Pada hari kedua, aku dan Azizah sudah harus berbicara dengan menggunakan Bahasa Inggris di Camp. Kami masih bingung dan belum PD sama sekali untuk berbicara menggunakan Bahasa Inggris. Maka jadilah ketika teman-teman camp mengajak berbicara, maka kami hanya “aa.., ee…, aa.., ee..,” tidak jelas dan menjawab dengan bahasa isyarat layaknya orang bisu. Untung saja teman-teman mengerti dengan apa yang kami maksud.
Beberapa hari berikutnya pun masih demikian,. Lama-lama aku lelah hanya menjadi pendengar dan tidak mampu berbicara dengan teman-teman, maka kemudian aku memberanikan diri mencoba untuk berbicara menggunakan bahasa inggris meskipun dengan terbata-bata. Pelan-pelan akhirnya lama-lama lidahku menjadi lebih terbiasa berbicara dengan bahasa inggris meskipun masih campur-campur dengan bahasa Indonesia. Oh iya, aturan lainnya di camp ini adalah kami boleh menggunakan bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah manakala kami tidak mengetahui bahasa inggris dari suatu kata namun harus menggunakan logat ala-ala “Cinta Laura” dan menggunakan clue “Haw to say” sebelum menyebutkan kata yang belum kita ketahui artinya. Sebagai contoh “How to say “Bandera” in English?”, “How to say “terjatuh” in English?,” “How to say, “Mencari makan” in English?” dan lain sebagainya.
Selain itu program Camp lainnya yaitu Night Class and Morning Class. Kami wajib mengikuti program tersebut yang dilaksanakan setiap hari kecuali pada hari sabtu dan minggu. Program Night Class diisi dengan kegiatan belajar secara berkelompok yaitu berupa kegiatan role playing, debate, Quis, dan sebagainya yang tentunya dengan menggunakan Bahasa Inggris. Sedangkan untuk program morning class diisi dengan kegiatan listening,penambahan vocab, dan pemberian tugas untuk mencatat buku harian dengan tema-tema tertentu yang sudah ditentukan oleh tutor setiap harinya. Apabila tidak mencatat maka kami akan mendapatkan point sebagai sanksinya. Kemudian adapula program mingguan yaitu Confidance Show dan Olah raga bersama. Program ini merupakan program yang diadakan setiap seminggu sekali, agenda kebersamaan bagi seluruh member camp Mr. Bob yang terdiri dari Camp 1-Camp 10. Dalam kegiatan Confidance show setiap camp wajib memberikan penampilan-penampilan. Penampilannya boleh segala macam seperti Drama, Dance, Singing, Speech, dan sebagainya yang ditampilkan di depan umum bersama seluruh memberdari camp-camp Mr. Bob lainnya. Melalui kegiatan tersebut kami dituntut untuk berani tampil Percaya Diri menggunakan Bahasa Inggris di depan banyak orang. Semua aktifitas tersebut dikemas dalam sistem yang menyenangkan dan anti stress apalagi dengan didampingi oleh para tutor yang baik. kece, asik, dan juga gokil.
Setiap hari aku harus mengayuh sepeda onthel menuju tempat belajar di Mr. Bob yang jaraknya cukup jauh dari camp kami yaitu sekitar 10-15 menit perjalanan. Rutinitas tersebut aku lakukan sebanyak 3 kali dalam sehari selama periode dua minggu pertama karena aku mendapatkan jadwal bimbel pada jam pagi, siang, dan sore hari. Aku sangat menikmati rutinitas mengayuh sepeda tersebut karena dengan mengayuh sepeda maka berarti kita telah melakukan olah raga yang akan membuat tubuh menjadi semakin sehat. Apalagi rutinitas tersebut dilakukan paling tidak sebanyak 3 kali dalam sehari dengan jarak yang cukup jauh.
Sepeda onthel merupakan alat transportasi utama di pare. Hampir seluruh pelajar pare menggunakan sepeda onthel sebagai alat transportasi. Saat awal datang di Pare aku sangat terpukau dengan suasana jalanan yang begitu damai dan tentram karena jalanan dipenuhi oleh pengendara sepeda onthel. Sangat minim polusi dan hemat bahan bakar. Ketika aku menggunakan sepeda onthel sebagai alat transportasi, sensasi yang dirasakanpun berbeda apalagi ketika bersepeda beramai-ramai bersama teman-teman. Rasa kebersamaan itu begitu mengalir mewarnai setiap perjalanan yang ditempuh.
Berbicara tentang suasana belajar, suasana belajar di kelas Mr. Bob sangat menyenangkan. Sistem pembelajaran disana diinovasi dengan permainan-permainan atau dengan kata lain belajar sambil bermain. Bagi orang yang sedang berusaha untuk cinta dengan bahasa inggris seperti aku maka sangat cocok untuk memulai belajar bahasa Inggris di tempat ini. Setiap belajar terlebih dahulu tutor memberikan materinya, kemudian setelah itu kami diminta untuk mengaplikasikannya melalui games secara berkelompok. Setiap hari peserta akan mendapatkan kelompok yang berbeda, karena sistem penentuan kelompoknya ditentukan dengan cara berhitung. Biasanya di dalam kelompok kita akan saling berbagi cerita satu sama lain dengan menggunakan bahasa Inggris semampu kita. Biasanya cerita-cerita tersebut ditentukan berdasarkan tema yang diberikan oleh tutor. Tidak lain, tujuannya adalah agar kita merasa Percaya Diri.
Selain itu di Mr. Bob kita akan mengenal yang namanya “Harga Diri”. Harga diri di peroleh dari setiap games apabila berhasil memenangkan games. Bagi yang kalah berarti tidak punya Harga Diri. Sediih deh.. hehe. Yupz, harga diri merupakan bentuk pengharagaan berupa hadiah bagi setiap pemenang di dalam permainan. Hadiahnya mah tidak mahal dan tidak begitu berharga, tapi yang penting “Harga Diri”nya itu yang mahal. Sedangkan untuk yang tidak berhasil memperoleh harga diri, berarti ia memperoleh hukuman. Hukuman yaitu berupa di dandanin cantik ala-ala Mr. Bob yaitu dengan di beri bedak sebanyak mungkin.
Dengan sistem belajar seperti itu, belajar bahasa Inggris menjadi lebih menyenangkan dan dengan sistem seperti itu pula kami para anggota kelas bisa saling akrab satu sama lain. Di akhir periode, di Mr. Bob selalu diberikan ujian Akhir. Ujian yang sangat berbeda dari ujian-ujian yang lain sebagaimana mestinya. Intinya dari hasil ujian ini kita akan memperoleh kesan dan pesan yang mendalam yang bisa jadi akan mendongkrak semangat kita untuk menjadi lebih baik. Insyaallah.
***
Hari itu di bulan Ramdhan, tepatnya sudah di pertengahan bulan Ramdhan yaitu sekitar tanggal 10 Juli 2013. Tidak terasa sudah satu bulan lamanya aku berada di Kampung Inggris. Masa belajarku telah berakhir namun rasanya sangat berat sekali untuk meninggalkan kampung ini. Kampung Inggris sebagai Kota impian yang memberiku banyak pembelajaran dan berhasil mengubah persepsiku tentang bahasa Inggris dari yang menakutkan menjadi menyenangkan. Mengubah perasaan benci akan bahasa Inggris, menjadi cinta dengan Bahasa Inggris. Semua hal yang dilakukan dan dibiasakan selama di kampung inggris ini begitu melekat di dalam jiwa dan memberiku semangat untuk terus mengaplikasikannya di luar sana terutama dalam hal penggunaan bahasa Inggris.
Banyak yang bilang bahwa kunci dari bahasa inggris itu adalah “digunakan”. Kita tidak akan pernah bisa berbicara bahasa inggris atau bahasa manapun manakala kita tidak pernah mencoba untuk menggunakannya. Kosa kata apapun yang sudah susah payah kita hafalkan akan capat hilang dan cepat lupa manakala tidak pernah digunakan. Ternyata pernyataan tersebut memang benar dan aku telah membuktikannya selama satu bulan di kampung inggris ini. Dari situ, aku bersemangat untuk terus mengaplikasikannya.
Siang itu, akhirnya akupun harus pergi meninggalkan kampung Inggris ini. Pada perjalanan pulang ini aku harus berpisah dengan sahabatku Azizah karena aku harus pulang ke kampung halamanku yaitu di sebuah desa di Propinsi lampung yang aku ceritakan di awal cerita ini. Aku harus kembali kesana karena libur masih panjang dan lebaran akan segera tiba. Azizah pulang bersama teman satu camp kami yang juga berasal dari daerah yang sama dengan Azizah, sedangkan aku pulang bersama dengan teman satu campku yang lain yang juga berasal dari Lampung.
Oh iya, aku punya seorang sahabat lagi yang lain namanya Devi sama-sama kuliah di STKS. Rumahnya sanga dekat dengan kampung Inggris yaitu tepatnya berada di Jombang tapi berbatasan dengan Kediri. Devi dan keluarganya sangat baik menerima aku dan Azizah selama berada disana. Kami sempat diajak menginap di rumahnya, dan diajak jalan-jalan ke Malang dan Batu Malang. Pada saat akan pergi meninggalkan kampung inggris, Devi dan keluarganya mengantarkan aku dan temanku sampai pada Loket Bis Rosalia Indah di Kediri yang akan mengantarkan kami hingga ke Lampung.
Kebiasaan berbahasa Inggris di camp masih sangat melekat mempengaruhi kami. Kami terus berbicara menggunakan Bahasa Inggris sepanjang perjalanan Kediri- Lampung yang menghabiskan waktu kurang lebih selama 36 jam. Bercerita banyak hal mulai dari a sampai z, beralih dari topik ke topik. Kami sangat asyik bercerita tanpa peduli dengan penumpang lainnya. dan ternyata banyak penumpang yang memperhatikan kami. Kami sadar ketika salah satu orang menegur ”Pasti habis kursus di kampung inggris ya mbak?” sambil tersenyum. Ohmy God, malu sekali rasanya tapi kami tetap PD saja dan terus bercerita ngalor ngidul dengan Bahasa Inggris yang sebenarnya masih sangat kacau.
Ketika di rumah aku berusaha untuk menggunakan bahasa inggris, tapi keluargaku tidak ada yang mengerti. Maka ketika sampai di Bandung, aku berusaha menerapkan English Area di kosanku karena kebetulan teman-teman kosanku cukup mahir berbahasa inggris. Selain itu mereka juga antusias dengan ide tersebut, meskipun pada pelaksanaannya banyak sekali pelanggaran dilakukan dan tidak lagi berlaku setelah kami tidak lagi tinggal satu kosan.
Pada semester selanjutnya, aku kembali lagi ke Kampung Inggris bersama dengan temanku yang lain. Aku mengambil program Grammar di Elfast dan bertemu dengan teman-teman yang bukan sekedar teman, melainkan seperti keluarga. Banyak cerita dan pengalaman yang berbeda selama belajar di Elfast dengan pengalaman selama di Mr. Bob. Namun, tungggu saja ceritanya di kesempatan yang lain, Insyaallah.
Thanks a lot ^_^
Lampung, 31 Desember 2015
Penulis : Nella Kurnia Anggrahini, S.Tr.Sos