Madani-News.com – Kota Metro – Jika kita melihat di jalan-jalan besar, banyak ruko berdiri, disewa dan tutup lagi. Banyak usaha-usaha kuliner, jual perabot, buka jasa dilaunching tapi tidak bertahan hingga 1/2 tahun. Berapa banyak kedai kopi buka lalu redup dan tutup. Apa sebabnya? Mengapa hal tersebut terjadi?
Di masa depan orang tidak hanya mencari yang nyaman. Tapi juga unik, kreatif dan juga merindukan yang klasik atau tradisional. Lo kita hidup di arus modernisme cum digital, kenapa jadi campur aduk? Yang modern rindu tradisional, yang tradisional juga rindu modern bahkan digitalisasi.
Semua itu soal kebudayaan lama yang coba dianggit kembali. Kebudayaan yang ditinggalkan tapi dirindukan. Arsitek tradisional, bahan lokal, warisan budaya dan lainnya. Payungi misalnya, bukan hal baru dalam gerakan, banyak pasar tradisional digelar bahkan tahun 2018 ada 80 lebih pasar digital digagas. Lalu berapa yang bertahan? Itu bergantung kembali ke persoalan “gotong royong dan kreatifitas” istilah lainnya pembaharuan.
Dimasa depan bisnis ada yang tidak memerlukan ruko, bangunan megah dan lain-lain. Banyak anak muda membuat aplikasi lalu dari situ dia mencetak uang. Musisi tak perlu menjual kaset, cukup rutin saja memproduksi kontent di youtube dan juga menjual marchendise. Hal yang tidak bisa dikalahkan adalah saat gotong royong membentuk ecosystem masyarakat kreatif. Ruang menjadi titik awal perubahan. Sudut-sudut kampung kumuh banyak jadi destinasi. Jodipan Malang misalnya, atau dulu kali Code Jogja yang digagas Romo Mangun.
Kini transformasi perubahan kampung kreatif bahkan bisa dipercepat atau dikabarkam lewat medsos. Asal kompak, tak ada yang sulit. Orang bisa dengan cepat mengenal tempat-tempat baru, tinggal studi banding, atau yang simple lihat instagram, facebook, youtube atau website. Tunggu apa lagi, mari jadi penggerak disekitar wilayah kita dengan cara gotong royong.
Salam Payungi ☔☔☔
Penulis : Dharma Setyawan
Penggerak Pasar Yosomulyo Pelangi (@payungi_)