FITRA Indonesia Tuding 5 Anggota BPK Terpilih Berlatar Belakang dari Partai Politik

Madani-News.com – Jakarta – Terpilihnya lima anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2019-2024 yang sebagian besar berlatar belakang Partai Politik oleh Komisi XI DPR RI mengecewakan berbagai kalangan, termasuk Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA).

Anggota BPK terpilih tersebut adalah Pius Lustrilanang (politisi Gerindra), Daniel L. Tobing (Politisi PDI Perjuangan), Hendra Susanto (Kepala auditor BPK-RI), Achsanul Qosasih (petahana, Partai Demokrat), dan Harry Azhar Azis (petahana, pernah di Partai Golkar).

“Ini menandakan bahwa ada yang salah dalam UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK yang memberi kewenangan besar kepada Komisi XI DPR RI untuk melakukan seleksi hingga pemilihan anggota BPK. Sangat kentara ini hanya bagi-bagi jatah Parpol untuk menempati posis-posisi strategis lembaga negara” kata Misbah Hasan, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA).

Misbah juga menyoroti tertutupnya proses seleksi dan pemilihan anggota BPK. “Dari penetapan 64 calon anggota BPK, kemudian dipilih menjadi 32 calon, hingga ditetapkannya lima calon terpilih, prosesnya cenderung tidak transparan. Keterlibatan publik sangat minim kalau tidak mau mengatakan tidak ada sama sekali”.

Pada saat yang bersamaan, pengumuman terpilihnya anggota BPK periode 2019-2024 diwarnai peristiwa yang tidak mengenakkan, karena seorang anggota BPK RI yang berlatar belakang Partai Politik, Rizal Djalil ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka kasus suap proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Kementerian PUPR senilai SGD 100 ribu. Hal ini seakan mengkonfirmasi bahwa integritas anggota BPK yang berasal dari Parpol sangat diragukan.

Senada dengan Misbah, menurut Manager Advokasi Seknas FITRA, Ervyn Kaffah, terpilihnya 5 anggota BPK dalam waktu yang hampir bersamaan dengan ditetapkannya seorang anggota BPK sebagai tersangka terkait suap dalam kasus SPAM menunjukkan bahwa ada tugas besar yang menanti para anggota yang baru terpilih ini. Tugas ini, katanya, merupakan beban berat bagi BPK secara kelembagaan.

“Para pimpinan BPK terpilih punya tugas yang besar sekaligus beban berat untuk memperkuat upaya-upaya memperbaiki citra institusi BPK yang sudah terpuruk di mata publik. Ini adalah hal substansial yang selalu kami berikan penekanan sepanjang proses rekrutmen anggota BPK yang telah berlangsung, yang hemat kami masih sangat tertutup,” kata Ervyn.

Ia menegaskan, tugas ini sangat berat karena memori kolektif publik merekam soal lemahnya integritas institusi akibat sejumlah kasus yang pernah mendera BPK, termasuk pimpinannya.

“Saya berpandangan, tugas ini malah semakin berat, disebabkan mayoritas anggota BPK yang dipilih oleh DPR hari ini berasal dari kelompok politisi yang sebelumnya pernah menjabat di DPR. Karena sebelum ini muncul keraguan terhadap calon bersangkutan yang kini terpilih, disebabkan besarnya potensi conflict interest mereka jika terpilih sebagai anggota BPK. Sementara seorang anggota terpilih lainnya berasal dari pejabat karir internal BPK,” ungkapnya.

Menurut catatan FITRA, soal integritas baik pada level pimpinan maupun auditor adalah isu negatif yang sering mendera institusi BPK selama beberapa tahun terakhir. Sejak 2014-2017, ada delapan kasus yang melibatkan anggota, auditor dan staf BPK. Diantaranya, 3 kasus dugaan pelanggaran kode etik BPK yang dilakukan oleh Ali Masykur Musa (anggota BPK, pada tahun 2015), Efdinal (Kepala BPK perwakilan Jakarta sekaligus auditor pada tahun 2015), dan Harry Azhar Azis (ketua dan anggota BPK, pada tahun 2016 pernah terpilih (Red/Whd/Rls FITRA Indonesia)