Etika Hidup Beragama

Madani-News.com – Dalam menjalani hidup sebagai pemeluk agama dan berdampingan dengan agama-agama lain, maka kita memerlukan etika yang tepat dalam aktivitas keseharian. Karena kadangkala, hidup beragama dan berdampingan dengan agama lain dapat membuat konflik antar agama. Biasanya mereka saling mengunggulkan agamanya masing-masing (dengan egoisme dan keburukan emosionalisme), sehingga menimbulkan perseteruan yang merusak kerukunan dalam hidup bermasyarakat, serta merusak ke-Bhineka Tunggal Ika-an dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Konflik antar agama yang terjadi pada tahun antara 1980/1990-an, sebut saja peristiwa monitor, merupakan contoh nyata bagaimana antar agama mengalami berbagai gangguan. Namun, gangguan tersebut dapat dilerai dan didinginkan kembali melalui “Seminar Kerukunan Antar Agama” yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat pada waktu itu.

Seminar tersebut menjadi lebih menarik, karena para hadirin adalah berasal dari berbeda-beda unsur. Diantaranya: kiai, tokoh-tokoh Islam dari MUI, Tokoh Muhammadiyah, politikus, ada yang dari agama Buddha, Pendeta, Teolog Kristen Protestan, Sosiolog,  serta Romo Katolik.

Dengan menghadirkan tokoh-tokoh berbeda latar belakang bahkan berbeda agama, seminar tersebut justru bisa berjalan dengan terbuka dan sama sekali tidak ada ketegangan di dalamnya. Padahal, seminar dilaksanakan pada situasi ketegangan antar agama yang masih memanas.

Penyelenggara seminar pada waktu itu mengangkat sebuah pertanyaan besar, yang mungkin banyak orang tidak mengakui kebenaran pertanyaan itu, namun secara kehidupan nyata betul-betul terjadi: “apakah benar, dan harus begitu selamanya, bahwa agama itu bukan hanya membawa rahmat, melainkan sekaligus malapetaka? Mungkin kebanyakan dari kita tidak sepakat apabila hidup beragama sekaligus membawa malapetaka.

Namun, kalau memang tidak membawa malapetaka, bagaimana bisa dijelaskan kondisi paradoksial yang terjadi saat konflik agama terjadi di kehidupan nyata, dan bagaimana mencari strategi pemecahannya?

Dalam seminar “Kerukunan Antar Agama” tersebut, menghadirkan tujuh pemrasaran, diantaranya adalah Franz Magnis Suseno yang diminta untuk membahas Absolusitas dan Relativitas ajaran agama bersamaan dengan Dr. H.M. Quraish Shihab.

Menariknya, meski keduanya berangkat dari landasan yang berbeda, dimana Franz berlandaskan pada keimanan kristiani dan Quraish Shihab berlandaskan pada Al-Qur’an serta sunnah Nabi, ternyata keduanya saling mengatakan sesuatu yang identik sama dan sependapat. Hal ini sekaligus menunjukkan, bahwa setiap konflik yang terjadi bahkan dalam hal fundamental-pun, bisa diatasi dengan tanpa kerusuhan, misalkan dengan adanya ruang pertemuan terbuka seperti seminar kerukunan antar agama seperti ini.

Konsep Rendah Hati

Ada prasaran penting dan manis dari Quraish Shihab, yang perlu didengar secara terbuka oleh seluruh umat yang berada di luar agama Islam: Bahwa agama Islam, yang diyakini sebagai agama yang benar dari Allah untuk seluruh umat manusia, menyerahkan penilaian terhadap mereka yang berada di luar Agama Islam kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Islam meyakini, adanya beberapa agama lain selain Islam adalah kehendak dari Allah, dan dengannya maka Allah mengajak umat Islam untuk saling toleransi antar agama (Teks ini sudah penulis rubah kedalam bahasa yang lebih mudah dipahami oleh pembaca).

Begitu juga agama Katolik dan Kristiani menyatakan tentang hal yang sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Quraish Shihab tentang sikap (rendah hati). Dalam Konsili Vatikan II, menghasilkan keputusan bahwa Katolik dan Kristiani saling sependapat untuk bersikap hormat terhadap agama lain, yang pada waktu itu diberi tekanan khusus kepada agama Islam dan Buddha.

Kerendah hatian Katolik dan Kristiani pada waktu itu terlihat dalam pernyataannya yang tegas mengatakan: Bahwa anggota agama lain (selain Katolik dan Kristiani) dapat memperoleh keselamatan kekal dari Allah, asal ia hidup sesuai keyakinannya.

Sikap rendah hati dalam hidup beragama mengajarkan kepada kita, bahwa kebenaran itu bukan milik orang-orang yang beragama, juga bukan milik agama-agama tertentu. Melainkan, kebenaran itu adalah rahmat dari Allah SWT. Oleh karena kebenaran itu adalah Rahmat Allah, maka kita harus mengakui bahwa rahmat Allah bisa turun kepada siapa saja, kapan saja dan dimana saja sesuai yang dikehendaki-Nya.

Kerendah hatian melarang kita untuk mengatakan bahwa agama “A” lebih baik daripada agama “B”, begitu juga sebaliknya. Melainkan, kerendah hatian mengajak kita untuk melihat agama-agama sebagai sebuah kebaikan dan berpotensi mendapatkan rahmat dari Allah. Kita boleh menganggap baik agama “A” namun tidak dengan disertai pandangan buruk terhadap agama “B”.

sebagai orang beragama yang  sama sekali bukan pemilik kebaikan, maka tidak bisa kita meletakkan kebaikan pada satu agama saja, semau-mau kita. Sedangkan, Allah sendiri sebagai pemilik hakiki dari sebuah kebaikan meletakkan rahmatnya kepada siapa saja yang dikehendaki, tanpa kita mengetahui secara empirik.

Pada intinya, kerendah hatian tidak menghendaki pikiran tentang “agamaku yang paling baik dan paling dirahmati”, Namun kita harus menganggap bahwa kebaikan itu adalah sebuah rahmat Allah yang bisa turun dan menimpa siapa saja dan agama apa saja.

Sikap Toleransi

Sikap toleransi dalam hidup beragama bukan hanya sekadar membiarkan mereka yang beragama lain. lebih dari itu, toleransi harus lebih bersifat positif. Sifat positif toleransi adalah kesediaan kita untuk mau menerima dan mengakui kesamaan hak dalam melakukan kegiatan-kegiatan berdasarkan keyakinan agamanya masing-masing. Sikap toleransi juga harus menghormati keyakinan agama lain, meskipun kita tidak menyetujui keyakinan tersebut.

sikap toleransi dari agama-agama akan berdampak positif kepada perwujudan kebersamaan bangsa. Dari agama-agama, adalah titik awal dari sebuah integritas, kebenaran, kebebasan, keadilan, toleransi,  kasih sayang, belaskasihan dan kesediaan untuk menahan diri terus berpancaran dalam hidup masyarakat.

Hal penting dari sikap toleransi positif dalam hidup beragama adalah, dimana agama-agama tetap mampu memberikan kenyamanan, keamanan dan segenap perlindungan kepada manusia-manusia, meskipun manusia tersebut bukan pemeluk dari agama itu.

Penulis: WEPO